Program Desa Siaga
Tujuan program ini adalah untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mendeteksi dan mengatasi masalah kesehatan desa secara mandiri. Program desa ini membawa pesan implisit bahwa pemerintah akan melepaskan (alias “ngeculke”) tanggung jawab finansial pemerintah dalam mewujudkan kesehatan kepada masyarakat. Memang tidak dipungkiri bahwa sehat tidak hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi masyarakat sendiri juga berperan. Sehingga, pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu kunci. Pemberdayaan masyarakat ini bukanlah sulapan. Memberdayakan masyarakat berarti memberikan informasi kesehatan yang tepat dan lengkap kepada masyarakat, agar mereka mengerti tentang baik-buruknya alternatif yang tersedia serta bertanggung jawab terhadap pilihannya.
Dengan demikian, pemberdayaan masyarakat juga terkait dengan kompleksitas pengambilan keputusan. Pilihan bersalin kepada dukun atau bidan diserahkan kepada masyarakat. Masalahnya adalah sampai sekarang (atau sampai kapanpun?) terjadi asimetri informasi kesehatan. Menjadi tugas pemerintah untuk mengikis asimetri tersebut termasuk dengan menyediakan infrastruktur. Melalui program desa siaga, pemerintah menargetkan membangun pos kesehatan desa yang diharapkan dapat dikawal oleh seorang bidan dan 2 kader desa. Saya tidak hafal target Depkes, tapi bisa tanya sama mbah Google. Pos kesehatan desa semestinya juga bukan bangunan fisik yang hanya buka jam 8-1 siang, tetapi semestinya 24 jam. Pos kesehatan desa juga harus memiliki dukungan fasilitas informasi dan komunikasi yang memadai untuk menjalankan fungsi deteksi masalah kesehatan secara dini serta merujuk masalah kesehatan secara cepat ke fasilitas kesehatan yang lebih tinggi. Berbagai metode komunikasi (dari manual dan elektronik), informasi yang terinci mengenai berbagai risiko di wilayah desa serta potensi (ambulans desa, petugas yang kompeten) harus dimiliki oleh pos kesehatan desa. Menurut saya, tidak berarti bahwa pos kesehatan ada harus ada di setiap desa jika masyarakat dalam wilayah tersebut sudah mampu mengatasi masalah kesehatan secara mandiri. Klinik atau tenaga kesehatan yang melayani pasien dari daerah kumuh di perkotaan dapat difungsikan sebagai pos kesehatan desa juga. Pendekatan birokrasi justru jangan sampai menjadikan pos kesehatan desa tersebut malah menjadi penghambat alur informasi.
Kata kuncinya adalah pelembagaan pos kesehatan desa. Semenjak diundangkannya UU no 32 tahun, desa berhak mendapatkan dan mengelola Alokasi Dana Desa (ADD). Agar pos kesehatan desa benar-benar dimiliki oleh masyarakat desa tersebut, mengapa tidak mengadvokasi agar pemerintah kabupaten melakukan inovasi pemanfaatan ADD untuk mendukung program desa siaga. Di tingkat kabupaten, jargon yang muncul adalah kerjasama lintas sektoral, tetapi implementasi di lapangan bersifat spasial (dibatasi wilayah administratif desa).
Alhamdulillah, di desa Talangagung ini telah berdiri Puskesmas Pembantu dengan tenaga kesehatan Dokter dan Bidan. Ini yang harus bisa dimaksimalkan oleh masyarakat. Dan jika sudah banyak warga yang sadar akan adanya Puskesmas Pembantu ini, diharapkan para tenaga medis terutama Bidan Desa untuk dapatnya berlaku sabar dalam melayani masyarakat. Jangan merasa diperlukan terus bertindak ketus (=jawa) atau tidak mengorangkan orang lain.
Dengan demikian, pemberdayaan masyarakat juga terkait dengan kompleksitas pengambilan keputusan. Pilihan bersalin kepada dukun atau bidan diserahkan kepada masyarakat. Masalahnya adalah sampai sekarang (atau sampai kapanpun?) terjadi asimetri informasi kesehatan. Menjadi tugas pemerintah untuk mengikis asimetri tersebut termasuk dengan menyediakan infrastruktur. Melalui program desa siaga, pemerintah menargetkan membangun pos kesehatan desa yang diharapkan dapat dikawal oleh seorang bidan dan 2 kader desa. Saya tidak hafal target Depkes, tapi bisa tanya sama mbah Google. Pos kesehatan desa semestinya juga bukan bangunan fisik yang hanya buka jam 8-1 siang, tetapi semestinya 24 jam. Pos kesehatan desa juga harus memiliki dukungan fasilitas informasi dan komunikasi yang memadai untuk menjalankan fungsi deteksi masalah kesehatan secara dini serta merujuk masalah kesehatan secara cepat ke fasilitas kesehatan yang lebih tinggi. Berbagai metode komunikasi (dari manual dan elektronik), informasi yang terinci mengenai berbagai risiko di wilayah desa serta potensi (ambulans desa, petugas yang kompeten) harus dimiliki oleh pos kesehatan desa. Menurut saya, tidak berarti bahwa pos kesehatan ada harus ada di setiap desa jika masyarakat dalam wilayah tersebut sudah mampu mengatasi masalah kesehatan secara mandiri. Klinik atau tenaga kesehatan yang melayani pasien dari daerah kumuh di perkotaan dapat difungsikan sebagai pos kesehatan desa juga. Pendekatan birokrasi justru jangan sampai menjadikan pos kesehatan desa tersebut malah menjadi penghambat alur informasi.
Kata kuncinya adalah pelembagaan pos kesehatan desa. Semenjak diundangkannya UU no 32 tahun, desa berhak mendapatkan dan mengelola Alokasi Dana Desa (ADD). Agar pos kesehatan desa benar-benar dimiliki oleh masyarakat desa tersebut, mengapa tidak mengadvokasi agar pemerintah kabupaten melakukan inovasi pemanfaatan ADD untuk mendukung program desa siaga. Di tingkat kabupaten, jargon yang muncul adalah kerjasama lintas sektoral, tetapi implementasi di lapangan bersifat spasial (dibatasi wilayah administratif desa).
Alhamdulillah, di desa Talangagung ini telah berdiri Puskesmas Pembantu dengan tenaga kesehatan Dokter dan Bidan. Ini yang harus bisa dimaksimalkan oleh masyarakat. Dan jika sudah banyak warga yang sadar akan adanya Puskesmas Pembantu ini, diharapkan para tenaga medis terutama Bidan Desa untuk dapatnya berlaku sabar dalam melayani masyarakat. Jangan merasa diperlukan terus bertindak ketus (=jawa) atau tidak mengorangkan orang lain.
0 komentar:
Posting Komentar