Kiprah perempuan Indonesia saat kini tidak terbatas pada kedudukannya di Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif saja, melainkan merambah pula ke banyak sektor lainnya. Kemampuan dan keberhasilan mereka menjadi kebanggaan bagi kita semua. Betapa tidak? Sudah tak terhitung berapa banyak prestasi yang diraihnya, sehingga mampu membuat mata kita terbelalak, berdecak kagum, bahkan terperangah atas segala buah karya kaum perempuan.
Namun, pernahkah kita menengok kebelakang? Alangkah bijaknya bila kita mau mengakui bahwa semua ini tidak terlepas dari semangat perjuangan dan cita-cita dari tokoh perempuan Indonesia sekitar tahun 1859, yaitu R.A.Kartini.
Kartini yang wafat pada tahun 1904 dalam usia 25 tahun, saat melahirkan putra pertamanya, telah memperjuangkan emansipasi perempuan Indonesia. Melalui surat-surat yang dikirimkan kepada sahabatnya di Belanda dan akhirnya dibukukan oleh seorang Menteri Kebudayaan Belanda saat itu, telah membuktikan hal ini.
Kartini yang wafat pada tahun 1904 dalam usia 25 tahun, saat melahirkan putra pertamanya, telah memperjuangkan emansipasi perempuan Indonesia. Melalui surat-surat yang dikirimkan kepada sahabatnya di Belanda dan akhirnya dibukukan oleh seorang Menteri Kebudayaan Belanda saat itu, telah membuktikan hal ini.
Masalah keterbelakangan pendidikan formal bagi perempuan menjadi perhatian serius Kartini. Oleh karenanya, ketika suaminya, Bupati Rembang, memberikan dukungan, saat itu pula Kartini mendirikan sekolah khusus bagi kaum perempuan. Sebab, menurutnya, kebangkitan, keberdayaan, dan persamaan hak bagi kaumnya hanya bisa diraih melalui pencerdasan dari buah pendidikan.
Saat itu, kaum perempuan tersisihkan. Seluruh peran strategis hanya didominasi dan dikuasai oleh laki-laki. Sedangkan para perempuan hanya cukup berperan sebagai pelengkap saja. Seolah-olah kaum perempuan tidak mampu berbuat sesuatu dan tidak berdaya sama sekali.
Salah satu penyebabnya adalah adanya sikap ego para lelaki yang tidak mau dikalahkan. Malah lebih parah, merasa dapat dipermalukan jika berada “di bawah” kaum perempuan. Sehingga, banyak kebijakan yang tidak berpihak kepada kaum perempuan, bahkan tidak sedikit dari mereka yang teraniaya atas keputusan sepihak yang berlindung di belakang kata “kebijakan”.
Saat itu perempuan tidak memiliki akses untuk bersuara, apalagi menyampaikan pendapatnya!
Termajinalkan. Kira-kira begitulah kondisi mereka saat itu. Suara mereka tidak pernah terdengar, atau lebih tepatnya tidak diperdengarkan. Malah bisa disebut dibungkam paksa. Sungguh sesuatu yang sangat memprihatinkan, menyedihkan, bahkan bisa dibilang memalukan.
Mengapa bisa demikian?
Keprihatian, kesedihan dan memalukan, seyogianya kondisi ini dirasakan oleh kaum lelaki yang menghargai harkat, derajat kaum perempuan. Ego, rasa sombong, menguasai perilaku laki-laki yang salah kaprah, sehingga bisa menelanjangi, bahkan dapat mempermalukan serta menjerumuskan diri sendiri.
Kita sebagai kaum laki-laki pemberdaya, sudah seharusnya bersikap arif, bijak, untuk menyikapi permasalahan gender, bahkan sudah Seyogianya menjunjung tinggi persamaan hak.
Bagi para perempuan, tentunya pula kita tidak bisa memungkiri kodratnya: mengalami kehamilan, melahirkan, dan menyusui, adalah sejumlah proses kejadian yang tidak mungkin terhindarkan dan tidak mungkin dialami oleh kaum laki-laki.
Namun diluar arti kodrat itu sendiri, ternyata banyak fungsi dan peran yang bisa “dipertukarkan” antara laki-laki dan perempuan, tanpa kesan terpaksa ataupun dipaksakan, sehingga kemunculan kesetaraan gender akan berproses dan berjalan dengan sendirinya.
Menggarisbawahi kesetaraan gender tersebut, mau tidak mau harus diakui secara mutlak oleh para lelaki, tidak hanya sekadar menerima dengan rasa tulus, jujur, serta penghargaan tinggi. Laki-laki harus legowo menerima kenyataan ini dan mendapatkan pengakuan dengan rasa hormat. Mereka harus mampu meruntuhkan ego, melunturkan kesombongan dan kekuasaan yang terlanjur tertanam pada dirinya.
Nah, sekarang bagaimana dan apa kaitannya para Kartini-Kartini (desa) dengan PNPM Mandiri Perkotaan yang sasarannya tersebar di seantero Nusantara ini?
Dalam program ini amat jelas dan tegas adanya penetapan tentang peran perempuan dalam uapaya penanggulangan kemiskinan (nangkis) yang dikemas cantik dalam program pemberdayaan masyarakat. Persentase partisipasi mereka dalam setiap siklus dan kegiatan minimal kehadirannya adalah sebanyak 30%.
Ketentuan ini sangat jelas dimaksudkan memberi peran perempuan secara signifikan. Memberi kepercayaan besar kepada mereka untuk ikut mengambil kebijakan dan memberi kesempatan seluas-luasnya kepada perempuan untuk ikut terlibat dalam pembangunan (desa).
Di saat lalu, tanpa disadari diskriminasi telah memiskinkan kaum perempuan. Mereka tidak memiliki akses bersuara. Mereka hanya mampu menggumam lirih di balik kesibukan tugas-tugas rutinnya melayani suami, mengurus rumah tangga, anak-anak, serta seabreg tetek-bengek lainnya, yang telah terpatri kuat di balik indahnya budaya dan tata krama yang menjerat mereka. Namun, dengan hati yang tulus ikhlas semua itu dilakoninya tanpa gerutu dan tanpa kerutan di kening.
Sementara pada kenyataan sebenarnya, perempuan (desa) ternyata banyak yang memiliki potensi, memiliki motivasi, kreativitas, serta buah pikiran yang konstruktif, bahkan mampu melakukan perubahan-perubahan sosial yang signifikan dan menggoreskan keindahan warna lainnya.
Seyogianya kita sepakat peran masyarakat termasuk para perempuannya dalam membangun dirinya, keluarga, membangun desa (lingkungan, sosial dan perekonomian rakyat), serta membangun keberdayaan masyarakat di lingkungannya dalam upaya nangkis, juga mengisi kemerdekaan sebagai bentuk kepedulian dan pengabdiannya kepada tanah air tercinta.
Gerakan bersama para perempuan (desa) dalam upaya nangkis pula sebagai upaya peningkatan harkat dan derajat hidup mereka tanpa menanggalkan kodratnya sebagai perempuan.
Bagi para perempuan (desa), marilah bersama-sama berlomba membangun desa. Membangun lingkungan yang asri, hijau, dan sehat, demi anak cucu kita ke depannya. Bersama para lelaki kita bahu-membahu bekerja sama dan sama-sama bekerja demi kesejahteraan bagi keluarga dan sesama.
PNPM Mandiri Perkotaan adalah wadah yang tepat, program ini dengan maksimal dan seluas-luasnya telah memberikan peluang bagi para perempuan(desa) untuk berkarya dan berkarya.
Mari kita pelihara serta kobarkan terus semangat Kartini di dada, kontribusi Anda ditunggu desa. Peran kalian dinanti lingkungan yang haus akan sentuhan dan belaian kasih perempuan. Semoga di suatu saat nanti, saat bertumbuh dewasanya anak cucu kita, akan tercipta lingkungan idaman, semoga. (PL)
0 komentar:
Posting Komentar